Sabtu, 05 Desember 2015

Kamukah Bunga Itu?


Hujan malam ini sedang senang-senangnya menyelimuti kota di mana aku makan, minum, mandi, dan mencari ilmu serta uang untuk masa depanku nanti. Tapi, sesekali aku mengintip keluar ketika hujan begitu angkuh dengan riuhnya jumlah mereka. Aku menatap perlahan sudut demi sudut dari pintu rumahku kala itu.


Pengelihatanku masih tak bisa terganggu oleh apapun, hujan begitu menderu di gendang telingaku. Pantas saja, aku sering terhipnotis oleh biasnya. Awan yang sebelumnya ditaburi bintang, ketika hujan, bintangpun mengalah demi dan kegelapan pun mentupi. Tapi, aku masih saja berharap bahwa aku bisa melihat bintang saat hujan sedang tiba.

Mustahil memang, tapi pikirku tentangmu tak akan pernah mustahil. Gaya bicaramu yang ayu dan tutur, membuatku seakan meleleh oleh pijar kebahagiaanmu. Ya, meskipun terkadang kamu tak lagi mengimpang keayuanmu karena di sisi lain, selera humornya begitu aku ajungi jempol. Iya, kamu pembuat garis bibirku terbahak-bahak akan tingkahmu.

Hari berlarut dengan sesekali ditutup oleh jingga keemasan yang membias di seluruh sudut bumi ini. Hanya, terkadang ia tak muncul, yang muncul hanya gumpalan hitam hasil dari penguapan air laut yang akan turun menjadi hujan. Mendung namanya.

Meskipun ada pepatah mengatakan “Mendung Tak Berarti Hujan.” Entah atas dasar apa pepatah itu dibuat, tapi aku percaya bahwa cuek bukan tak berarti tidak peduli. Ya, konotasi dari pepatah itulah yang aku logikakan dalam pikir sadarku.

Kamukah Bunga Itu?

Pertanyaan seperti itu memang tak selalu mengusik batin, hanya saja sesekali aku acap kagum dan terasa terkoyak-koyak mendengar namamu disebuat oleh orang lain. Bukan, ini bukan sebuah rasa kebencian. Tapi cemburu.

Katanya, cinta dapat membutakan. Mungkin itu yang aku rasakan saat ini. Menjadi seseorang penerus rasa memang bukan hal mudah. Tapi, aku selalu percaya bahwa kamu akan menjadi bungaku.

---o0o---

Terkadang, aku juga bingung akan ke mana aku membuat sebuah jawaban atas kemauan alam sadarku. Haruskah aku berjalan dan hanya menikmati? Atau aku harus menikmati saat berjalan? Entahlah, pertanyaan semacam itu tak sering aku pikirkan. Hanya saja sering terlewat dan membekas.
Kamu, bunga indah yang punya kelopak senyum tak ternilai olehku. Lentik mahkota dengan sejuta tanda tanya yang sering membuatku kagum dan heran. Benarkah ini terjadi. Apakah aku harus menampar diriku untuk memastikan ini kenyataan atau hanya ilusi?

“Ah, itu hanya membuang waktu.” Pikirku terkadang di kala kesibukan mengharuskanku tak mengingatmu untuk sesaat. Yup, aku menjadi begitu tak peka akan dirimu saat kesibukanku begitu menguasai. Tapi, di sisi lain, namamu selalu ada dalam pikirku.

Bunga, sebutanku untuk dirimu yang punya keindahan dalam banyak hal yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Bunga sebagai tempat aku berbagi, bunga sebagai teman di mana aku kesepian. Bunga di mana aku merasa sendiri. Iya, kamulah bunga yang aku maksud.

Kamukah Bunga Itu?

Ini mungkin saatnya untukku menjawab. Iya, aku memilihmu dan aku percaya kamu adalah Bunga Itu. Terimakasih atas kiasanmu. Rindu ini selalu kutitipkan bersama alam saat ia menyapamu kapanpun itu.


Pekanbaru, 29 November 2015.

Share this post : Facebook Twitter Google+

8 komentar:

  1. "Awan yang sebelumnya ditaburi bintang" sepertinya lebih cocok kata awan'a diganti sama langit deh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Awalnya gitu cisana, tapi ada hal tersirat lain yg gak bisa dipake kata awan. Btw, makasih masukkanny.

      Hapus
  2. Njiiir :))bener-bener syahdu bang :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benern syahdukan? Makanya, sering mampir. Hahahaha. Maksa bgt keknya

      Hapus
  3. syahdu banget. sependapat sama febri.

    BalasHapus