Hujan malam ini sedang
senang-senangnya menyelimuti kota di mana aku makan, minum, mandi, dan mencari
ilmu serta uang untuk masa depanku nanti. Tapi, sesekali aku mengintip keluar
ketika hujan begitu angkuh dengan riuhnya jumlah mereka. Aku menatap perlahan
sudut demi sudut dari pintu rumahku kala itu.
Pengelihatanku masih tak bisa
terganggu oleh apapun, hujan begitu menderu di gendang telingaku. Pantas saja,
aku sering terhipnotis oleh biasnya. Awan yang sebelumnya ditaburi bintang,
ketika hujan, bintangpun mengalah demi dan kegelapan pun mentupi. Tapi, aku
masih saja berharap bahwa aku bisa melihat bintang saat hujan sedang tiba.
Mustahil memang, tapi pikirku
tentangmu tak akan pernah mustahil. Gaya bicaramu yang ayu dan tutur, membuatku
seakan meleleh oleh pijar kebahagiaanmu. Ya, meskipun terkadang kamu tak lagi
mengimpang keayuanmu karena di sisi lain, selera humornya begitu aku ajungi
jempol. Iya, kamu pembuat garis bibirku terbahak-bahak akan tingkahmu.
Hari berlarut dengan sesekali
ditutup oleh jingga keemasan yang membias di seluruh sudut bumi ini. Hanya,
terkadang ia tak muncul, yang muncul hanya gumpalan hitam hasil dari penguapan
air laut yang akan turun menjadi hujan. Mendung namanya.
Meskipun ada pepatah mengatakan “Mendung
Tak Berarti Hujan.” Entah atas dasar apa pepatah itu dibuat, tapi aku percaya
bahwa cuek bukan tak berarti tidak peduli. Ya, konotasi dari pepatah itulah
yang aku logikakan dalam pikir sadarku.
Kamukah Bunga Itu?
Pertanyaan seperti itu memang tak
selalu mengusik batin, hanya saja sesekali aku acap kagum dan terasa
terkoyak-koyak mendengar namamu disebuat oleh orang lain. Bukan, ini bukan
sebuah rasa kebencian. Tapi cemburu.
Katanya, cinta dapat membutakan.
Mungkin itu yang aku rasakan saat ini. Menjadi seseorang penerus rasa memang
bukan hal mudah. Tapi, aku selalu percaya bahwa kamu akan menjadi bungaku.
---o0o---
Terkadang, aku juga bingung akan
ke mana aku membuat sebuah jawaban atas kemauan alam sadarku. Haruskah aku
berjalan dan hanya menikmati? Atau aku harus menikmati saat berjalan? Entahlah,
pertanyaan semacam itu tak sering aku pikirkan. Hanya saja sering terlewat dan
membekas.
Kamu, bunga indah yang punya
kelopak senyum tak ternilai olehku. Lentik mahkota dengan sejuta tanda tanya
yang sering membuatku kagum dan heran. Benarkah ini terjadi. Apakah aku harus
menampar diriku untuk memastikan ini kenyataan atau hanya ilusi?
“Ah, itu hanya membuang waktu.”
Pikirku terkadang di kala kesibukan mengharuskanku tak mengingatmu untuk
sesaat. Yup, aku menjadi begitu tak peka akan dirimu saat kesibukanku begitu
menguasai. Tapi, di sisi lain, namamu selalu ada dalam pikirku.
Bunga, sebutanku untuk dirimu
yang punya keindahan dalam banyak hal yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya.
Bunga sebagai tempat aku berbagi, bunga sebagai teman di mana aku kesepian.
Bunga di mana aku merasa sendiri. Iya, kamulah bunga yang aku maksud.
Kamukah Bunga Itu?
Ini mungkin saatnya untukku
menjawab. Iya, aku memilihmu dan aku percaya kamu adalah Bunga Itu. Terimakasih
atas kiasanmu. Rindu ini selalu kutitipkan bersama alam saat ia menyapamu
kapanpun itu.
Pekanbaru, 29 November
2015.
keren
BalasHapusMakasih.
Hapus"Awan yang sebelumnya ditaburi bintang" sepertinya lebih cocok kata awan'a diganti sama langit deh
BalasHapusAwalnya gitu cisana, tapi ada hal tersirat lain yg gak bisa dipake kata awan. Btw, makasih masukkanny.
HapusNjiiir :))bener-bener syahdu bang :)
BalasHapusBenern syahdukan? Makanya, sering mampir. Hahahaha. Maksa bgt keknya
Hapussyahdu banget. sependapat sama febri.
BalasHapusYoi bro. Biar nyesek bacanya
Hapus